20080211

Laire Anak Lanang


elasa, 21 Meii 1985

Selasa, 21 Mei 1985



Malam itu di sebuah gubuk keci yang berada di desa terpencil di Kab. Jepara Suasanan begitu lain dari biasanya. Meski malam telah larut, terlihat kesibukan orang seisi rumah yang hilir mudik kesana kemari seperti mempersiapkan suatu. Sesuatu yang ditunggu-tunggu dengan penuh harap cemas. Berkali-kali terdengar erangan seorang Ibu yang tampak kesakitan di atas pembaringan di kamarnya. Sepertinya sebentar lagi ia akan menghadapi suatu fase yang sangat penting dalam hidupnya. Betapa tidak, ia harus berjuang keras melewati fase itu dimana nyawa sebagai taruhannya. Tetapi dibalik erangan kesakitan itu ia merasa begitu bahagia, meskipun bisa saja ia harus kehilangan nyawanya utuk itu. Sebuah harga yang sangat mahal tentunya, bahkan tiada bisa ternilai dengan apapun, Persalinan.....Ya..... Sebentar lagi Kholifah akan melahirkan. Meskipun ini bukan proses kelahiran pertamanya, namun tetap saja perasaan cemas menghinggapinya.

Di sampingnya duduk dengan setia Ibu mertuanya yang telah tampak renta, rambutnya telah memutih, kulitnyapun telah keriput dimakan usia. Mbah Sakinah biasa ia dipanggil. Usianya hampir 80 tahun, Iapun terlihat cemas menunggui menantunya yang akan melahirkan.Mungkin akan melahirkan cucu terakhirnya, cucu terakhir dari anak terakhirnya pula. Entah sudah berapa jumlah cucunya. Ia memiliki 9 orang anak, 8 diantaranya perempuan dan hanya 1 anak laki-lakinya. Ia perempuan yang hebat, perkasa bahkan...di saat suaminya telah meninggal ia harus menghidupi ke-9 anaknya seorang diri. Tak banyak yang ditinggalkan almarhum suaminya itu. Hanya beberapa petak sawah yang ia tanami dengan padi. Sehingga hanya dari hasil panen padi itulah ia menyambung hidupnya bersama ke-9 anaknya. Ia berjualan beras hingga ke Pati, tentu puluhan kilo yang harus ia tempuh dengan berjalan kaki, dan itu setiap hari ia lakukan. Pagi-pagi buta ia telah menggendong beras di punggungnya. Mungkin itulah yang menyebabkan kini punggungnya tampak bungkuk. Dengan ditemani anak sulungnya ia berjalan hingga berpuluh-puluh kilo meter, baru larut malam nanti ia akan kembali ke rumah. Beras yang ia jual dibelikannya dengan bulgur ataupun beras jagung, sehingga ia masih bisa menyisihkan uang hasil penjualan berasnya. Kini hanya sedikit yang tersisa dari sisa ketangguhannya itu.

Di luar kamar tampak 2 gadis kecil mengintip dari balik pintu yang tiada daun pintunya. Yang ada hanya kain korden lusuh sebagai penutup, sehingga dengan mudah dapat mereka singkap. Usia mereka baru sekitar 7 dan 4 tahun. Mereka juga tampak cemas melihat ibu mereka terus meringis kesakitan. Tapi di balik kecemasan polosnya itu mereka sangat senang sekali, sebentar lagi tentunya mereka akan mempunya seorang adik.

Sementara itu, Farhan suaminya berada di luar rumah. Ia tampak tergesa-gesa menuju rumah tetangganya. Ia berniat meminjam sepeda motor milik tetangganya. Memang hanya dia saja saat itu yang memiliki sepeda motor. Bukan sembarang orang dapat memiliki motor, haruslah dari keluarga yang kaya tentunya. Sebuah honda 70 warna hijaupun dipinjamnya untuk menjemput dukun beranak yang rumahnya agak jauh. Hah....dukun beranak...? ya..saat itu yang ada hanya dukun beranak..sangat sulit mencari dokter atau bidan ditempat terpencil seperti itu. Harus ke Kota Kabupaten tentunya. Dengan menyusuri jalan berbatu yang lebarnya hanya dua meteran saja, hanya berbatu...saat itu tentu saja belum ada jalan yang beraspal di desa itu. Ia tancap gas motornya seperti tanpa menghiraukan suasana disekitarnya. Jalanan masih sangat sepi dan gelap gulita tentunya. Hanya dari cahaya lampu sepeda motorn yang tiada begitu jelas. Setelah menenpuh perjalanan hampir 30 menit, sampai juga ia ditempat dukun beranak

Dibangunkannya Mbah Mariati, demikian dukun beranak itu dipanggil, meskipun usianya belum terlalu tua ia tetap dipanggil mbah. Ia merupakan dukun beranak satu-satunya di kampung itu. Keahliannya diwarisi dari Ibunya yang juga seorang dukun beranak, tapi kini ia yang harus meneruskan profesi orang tuanya yang telah renta. Entah sudah berapa jumlah Ibu yang ditolongnya dalam melahirkan. Sungguh profesi yang mulia tentunya. Bagaimana tidak, ia harus membantu menyelamatkan 2 nyawa yang sama-sama berharga. Nyawa Ibu dan anak yang dilahirkannya. Setelah menyiapkan beberapa peralatan persalinan seadanya, mereka kembali ke rumah. Mereka harus segera sampai, karena disana telah menunggu istrinya yang harus segera mendapat pertolongan.

Sesampainya di rumah segera Mbah Mariati menuju kamar yang akan digunakan untuk persalinan. Farhan pun menyusul untuk turut menemani disamping istrinya. Kehadirannya sangat dibutuhkan istrinya untuk berikan semangat, Sebuah semangat yang akan berbuah manis nantinya. Di dalam kamar yang hanya berukuran beberapa meter saja itulah Mbah Mariati tampak sibuk mempersiapkan ugo rampenya. Ia juga memberikan pengarahan kepada Kholifah untuk terus berusaha, berusaha mengeluarkan sang jabang bayi dari dalam kandungannya. Namun sepertinya sang calon bayi ini agak bandel....rupanya belum mau juga ia beranjak dari tempat tidurnya yang begitu nyaman, sudah sembilan bulan ia berada disana. Di tempat dimana ia mendapatkan apa yang diperlukannya, terlindung dari dingin dan panasnya dunia, di rahim ibunya.

Namun Kholifah sepertinya tak tahan lagi, dengan sekuat tenaga dan dibantu mbah Mariati ia terus menekan sekuat tenaganya. Badannya kini penuh bersimbah peluh keringat. Peluh perjuangan seorang bunda untuk anaknya. Yang takkan pernah mampu dibalas oleh sang anak dengan apapun dan sampai kapanpun. Sangat pantas jika Tuhan menempatkan surga anak itu terletak ditelapak kaki ibundanya. Bahkan jika digambarkan bahwa jika gunung yang begitu besar dan tinggi menjualang itu menjadi emas, dan diberikan kepada seorang ibu, maka belum cukup itu membalas jasa dari seorang ibu pada anaknya. Luar biasa.

Setelah berjuang berjam-jam lamanya, setelah sempat hampir meregang nyawa, akhirnya si jabang bayi mau juga keluar dari rahimnya diiringi tangis bayi merah yang berlumuran darah, dengan kerasnya bayi itu menangis, sepertinya ia tahu akan melewati babak baru kehidupannya di dunia, tempat yang akan menentukan nasibnya di alam selanjutnya. Seandainya jabang bayi itu tahu betapa berat perjuangan ibunya untuk dia tentu ia takkan pernah mau menyusahkan ibunya itu.

”Anakku lanang opo wedok mbah?” tanya Kholifah dengan lirih. ”Lanang Nduk, ngganteng”. Alhamdulillah.....tangisnya bahagia. Tak terkecuali Farhan suaminya, memiliki anak lanang tentunya suatu kebanggaan tersendiri baginya. Setelah kedua anaknya semua perempuan kini ia dianugerahi anak lanang. Iapun menangis terharu bercampur bahagia..Sebagai wujud syukurnya iapun segerqa bersyujud di lantai itu pula, mensyukuri atas anugerah yang begitu berharga dan tiada ternilai, lalu tak lupa pula ia kecup kening istri tercintanya.

to be continue.........

Tidak ada komentar: